Senin, 02 November 2009

MEMBANGUN COMMUNITY OF PRACTICE (COP) UNTUK MENUMBUHKAN BUDAYA KNOWLEDGE SHARING


Mohamad Ikro

Abstract
Tujuan dari penulisan ini adalah bagaimana membangun Community of Practice (CoP) yang diharapkan dapat memotivasi karyawan dalam knowledge sharing yang akhirnya ditujukan untuk peningkatan kinerja organisasi. Metode yang digunakan adalah dengan studi literatur.
Kata Kunci : knowledge management, communities of practice,
knowledge sharing



Pendahuluan


Banyak perusahaan-perusahaan bisnis yang ada di dunia namun tidak memiliki umur yang panjang. Penelitian dari Peter Senge menyimpulkan bahwa perusahaan-perusahaan kelas dunia dan yang masuk dalam Fortune 500, memiliki umur rata-rata antara 40 – 50 tahun, artinya secara rata-rata hanya berumur sampai dua generasi. Ari de Geus (1997), melakukan penelitian pada perusahaan-perusahaan yang berumur di atas 200 tahun, menemukan karakteristik umum penyebab pendeknya umur perusahaan, terutama karena perusahaan tersebut tidak mampu belajar atau tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan zaman, sehingga mengecewakan konsumen, dan pada akhirnya ”mati” karena kehilangan pasar atau tutup karena ditolak oleh masyarakat dan lingkungannya. Namun pada kenyataannya, ada beberapa kasus di mana perusahaan memiliki umur panjang (lebih dari 150 tahun). De Geus menggambarkan fenomena perusahaan berumur panjang dengan karakteristik sebagai perusahaan yang hidup. De Geus menyatakan bahwa ada korelasi antara perusahaan yang berumur panjang dengan kemampuannya menjadi Learning Organization (organisasi pembelajar).
Tidak bedanya di perusahaan besar atau kecil saat ini dalam Learning Organization, Knowledge Management (KM) dewasa ini sangat dibutuhkan bagi setiap perusahaan yang ingin berkembang untuk meningkatkan daya saingnya. Salah satu kunci keberhasilan perusahaan dalam menerapkan KM adalah dengan memperbanyak knowedge sharing baik antar karyawan maupun dengan karyawan lain di luar perusahaan guna mendapatkan knowledge yang dibutuhkan. Aktivitas knowledge sharing yang digulirkan banyak dipicu oleh suatu komunitas tertentu, komunitas tersebut dinamakan Community of Practice (CoP).
CoP merupakan forum yang mempertemukan semua fungsi dalam organisasi untuk menggolah berbagai knowledge dengan tujuan memecahkan berbagai permasalahan dan menghasilkan inovasi perusahaan. Sesuai dengan namanya, CoP berorientasi pada pertukaran pengalaman praktek-praktek (best practices) terbaik yang telah dilakukan oleh karyawan. Oleh karena itu partisipasi aktif anggota sangat menentukan kualitas dari CoP.“Community of Practice adalah komunitas terdiri dari sekelompok orang, yang memiliki keinginan yang sama terhadap sesuatu hal yang mereka kerjakan, dan melakukan interaksi secara teratur untuk belajar bersama guna membantu pekerjaan mereka tersebut(Wenger, 2004). Kelompok ini adalah sekumpulan orang yang mengorganisir dirinya baik secara sosial maupun profesional lintas organisasi dengan tujuan untuk mengembangkan kemampuan baru. Dalam masyarakat Indonesia, kelompok ini cukup banyak dan berdiri sesuai dengan profesi tertentu. Di Jepang, Eropa Barat dan Amerika Serikat, kelompok-kelpompok ini dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk meningkatkan produktifitas perusahaan. Penelitian Seely dan Brown tentang Xerox mendeskripsikan bagaiman kru-kru service mesin fotocopy saling bertukar pengalaman tentang bagaimana mendiagnosa dan menangani masalah yang baru. Hasil-hasil pengalaman mereka ini kemudian digunakan perusahaan untuk medesain mesin-mesin fotocopy yang baru dalam menghadapi persaingan dengan perusahaan lain.
CoP ini memiliki tujuan untuk dapat menangkap, menyaring, mengelola segala informasi/ pengetahuan individu (tacit knowledge) dalam organisasi yang diperoleh berkenaan dengan problem dalam proses bisnis untuk dipecahkan bersama dan kembali disebarluaskan agar dapat menjadi pengetahuan bersama (explicit knowledge).
Selain itu CoP juga dapat difungsikan sebagai suatu media untuk pengembangan (improvement) pengetahuan, sehingga dapat dimunculkan “best practice-best practice” yang sangat membantu dalam operasional kerja.
Dalam penulisan ini, penulis mencoba mengangkat masalah bagaimana membangun Community of Practice untuk menumbuhkan budaya knowledge sharing. Dengan membangun CoP diharapkan dapat memotivasi karyawan dalam knowledge sharing yang akhirnya ditujukan untuk peningkatan kinerja organisasi. Metode yang digunakan adalah dengan studi literatur.
Knowledge Managenent dan Community of Practice
Dalam tahun terakhir communities of practice (CoPs) telah meningkat popularitasnya sebagai cara untuk mengelola manusia dan aspek-aspek sosialnya dari penciptaan pengetahuan (knowledge creation) dan penyebarannya dalam organisasi, juga telah menerima perhatian penting dalam literatur knowledge Management (Ardichvili et al., 2003; Wenger et al., 2002; Gourlay, 2001; Wlsham, 2001; Wasko and Faraj, 2002; Davenprort and Prusak, 1998).
Istilah community of practice diciptakan oleh lave and wenger (1991) yang mendefinisikan sebagai “…an activity system about which participants share understandings concering what they are doing and what that means in their lives and for their community”(p.98). Pokok dari community learn theory adalah suatu asumsi bahwa sedikitnya tenaga yang berpengalaman dan ahli dari suatu pengetahuan spesifik (Lave and Wenger, 1991).
Seorang pendatang baru awalnya melakukan "peripheral" atau aktivitas sederhana dalam menyelesaikan suatu tugas yang spesifik, dan lama kelamaan akan menerima peran dan tugas yang lebih berat sehingga secara cepat akan menjadi ahli (expert). Proses ini merupakan pembelajaran dengan memasukkan "legitimate peripheral participation" (lave dan Wenger, 1991). Hal ini mengakibatkan suatu rangkaian untuk menjadikan seseorang ahli di dalam suatu community of practice (CoP) dimana beberapa anggota dalam berpartisipasi ada yang aktif dan ada yang kurang aktif (Wenger et al., 2002).
Secara luas yang dapat dikenali manfaat CoPs adalah kemampuan mereka untuk memungkinkan menurunkan dan menyebarkan tacit knowledge, dimana tacit knowledge adalah suatu pengetahuan yang susah untuk dikomunikasikan karena kebanyakan menempel dan intuitif dalam konteks yang spesifik (Nonaka, 1994; Polany, 1957). Karena susah bagi orang lain untuk meniru atau mengcopy tacit knowledge, maka ada suatu kesepakatan bahwa tipe dari knowledge adalah suatu unsur penting yang membuat suatu organisasi mempunyai daya saing (Liedtka, 1999; Devenport and prusak, 1998). Hal tersebut membuat suatu argumen bahwa sharing dan internalisasi dari tacit knowledge memerlukan interaksi antar individu, terutama dalam wujud storytelling (Wenger et al., 2002; Brown and Duguid, 1991). Hal-hal seperti inilai maka diperlukan adanya CoPs.
Communities of Practice dan Performance

Penelitian menunjukkan bahwa mayoritas knowledge dan bagian terbesar dari suatu nilai knowledge dalam suatu organisasi adalah tacit knowledge (Reber, 1993; Snyder, 1996). Ini menyebabkan suatu argumentasi bahwa yang paling efektif dalam mentransfer implicit valuable knowledge dari tacit knowledge bukan dengan kodifiksi melainkan lebih kepada mentransfernya melalui implicit mode. (Reber, 1993). Transfer melalui implicit mode didefinisikan sebagai “the acquisition of knowledge (that) takes place largely independently of conscious attempts to learn and largely in the absence of explicit knowledge about what was acquired”. Hal tersebut membuat argumentasi bahwa transfer dari implicit valuable knowledge memerlukan interaksi yang sering dalam suatu kelompok kecil ( Kogut dan Zander, 1992).
Penelitian tentang CoP menemukan bahwa interaksi yang paling utama terjadi adalah dalam diskusi informal face-to-face dimana para anggotanya membiasakan berdiskusi tentang isu-isu terkait (Lave and Wenger, 1991;Wenger, 1998) Selama interaksi informal ini, para anggota CoP melakukan ketiga proses kognisi yaitu narration, collaboration, and social construction (Brown and Duguid, 1991), dan dalam pengembangannya dilakukan dengan cara share antar anggota dimana masing-masing memiliki memori yang menempel pada setiap anggota. Memori dari komunitas ini akan mempertahankan knowledge yang relevan terhadap praktek di lapangan juga kemampuan untuk menginterpretasikannya (Boland dan Tenkasi, 1995).
Performance dari suatu CoP tergantung kepada kemampuan anggota dari komunitas untuk terus membangunya dengan cara saling mengakses informasi yang ada dalam memori komunitas dan melakukan interaksi informal sesering mungkin, memfasilitasi kreasi dan transfer nilai dari tacit ke exsplisit knowledge di dalam komunitas (Lave and Wenger, 1991).
Satu asumsi yang umum dalam sebuah literatur dikatakan bahwa ada hubungan positif antara CoP dengan performance, baik secara individu, kelompok maupun organisasi. Salah satu dasar adalah asumsi dari widely-held yang percaya bahwa transfer dari tacit knowledge dan pembelajaran dari seorang leader dapat meningkatkan performance. Dalam riset aslinya muncul bahwa pengembangan dari CoP didasarkan pada situasi learning theory meskipun secara pribadi berargumen bahwa pembelajaran melalui keikutsertaannya dalam aktivitas sharring (Lave and Wenger, 1991).
CoP dalam Organisasi
Setidaknya ada tiga hal yang harus dimiliki oleh sebuah CoP dalam suatu organisasi, yaitu: adanya domain yang menjadi topik pembahasan dalam CoP itu, adanya community itu sendiri (yaitu adanya anggota yang terlibat), dan adanya practice (yaitu hasil yang baik yang didapat dan dihasilkan oleh komunitas tersebut). Yang perlu dicek dan dijaga secara baik adalah apakah domain dari CoP itu mendukung/sejalan dengan strategi bisnis perusahaan yang mensponsori kegiatan CoP tersebut. Sebagai contoh, pada bengkel yang terkenal, berkumpullah para ahli setel mesin, di mana para ahli dapat dengan leluasa berkumpul pada waktu senggang, atau bahkan pada jam kantor yang khusus disediakan untuk sharing berbagi pengalaman. Kegiatan ini harus selaras dengan bisnis strategi dari perusahaan tersebut, sehingga bisa mendukung kegiatan organisasi tersebut.
Salah satu kontribusi yang sangat penting dari implementasi CoPs adalah ada tiga dimensi yang utama dari CoPs yang dikemukakan oleh Mcdermott ( 1999) yang di tentukan seperti pada Gambar 1:
1. Knowledge apa yang akan di share dalam komunitas;
2. Tingkat koneksi dan identitas dari para anggota; dan
3. Seberapa dekat penggabungan dalam sharing knowledge dengan pekerjaan masyarakat sehari-hari.


Gambar 1. Tiga dimensi yang utama dari CoPs




Untuk mengevaluasi integrasi CoPs di dalam organisasi, merupakan suatu keperluan untuk memahami teori Wenger (1998), dimana digambarkan empat komponen yang dibutuhkan untuk mencirikan partisipasi sosial sebagai proses learning dan knowing. Komponen tersebut merupakan kunci untuk mengevaluasi apakah perusahaan mengolah CoPs dan menganalisa hasil temuan. Komponen yang tergambar di Gambar 2, didefinisikan sebagai berikut:
1. Meaning. Suatu cara untuk membicarakan tentang kemampuan individual untuk berubah dan mengumpulkannya kedalam pengalaman hidup dan dunia yang bermakna.
2. Practice. Suatu cara untuk membicarakn tentang penyebaran historis dan sumberdaya sosial, kerangka, dan perspektif yang dapat membenarkan keterikatan mutual dalam tindakan.
3. Community. Suatu cara untuk membahas tentang konfigurasi sosial dimana perusahaan diartikan dengan pencapaian yang berharga dan partisipasi dapat dikenal dengan kompetensi
Identity. Suatu cara untuk membahas tentang bagaimana learning merubah siapa saja dan menciptakan sejarah pribadi menjadi (personal histories of becoming) dalam konteks komunitas.


Gambar 2. Komponen dari suatu teori sosial pelajaran: suatu menginventarisir awal




Analisis deteksi CoPs di dalam Organisasi
Deteksi analisis CoPs di dalam organisasi diskemakan dalam Gambar 3: penting untuk mendeteksi apakah suatu perusahaan mempunyai CoP. Proses ini dapat menjadi sulit ketika CoPs menjadi kelompok yang spontan, dimana organisasi tidak menyadari keberadaannya. Suatu hal yang memungkinkan untuk mendeteksi CoP di dalam sebuah organisasi dengan menganalisa keberadaan periode pertemuan kelompok yang spontan tersebut, dengan pemimpin yang jelas dan anggota dengan kesamaan minat/kepentingan di dalam perusahaan.
Pada gambar 3 terlihat suatu alur yang dimulai dari suatu pertanyaan “apakah ada suatu kelompok yang mengadakan pertemuan secara berkala?”, “apakah ada suatu kelompok yang selalu berkomunikasi dengan menggunakan e-mail atau alat elektrolik lainnya?”, Kalau jawabanya “Tidak” berarti tidak ada CoP. Jika “Ya” akan dilanjutkan dengan suatu pertanyaan “apakah kelompok tersebut dikenal yang ditugaskan untuk mencapai tujuan organisasi?”, jika jawabanya “Ya” berarti tidak ada CoP (tugas tersebut sudah dilaksanakan oleh organisasi secara formal). Jika jawabannya “Tidak” akan dilanjutkan dengan suatu pertanyaan “Apakah orang-orang tersebut mempunyai kesamaan minat?”, “Apakah mereka membicarakan minat pada suatu subject secara bersama-sama?”, “apakah mereka saling berbagi ide dan masalah dalam organisasi?” “Apakah diorganisir melalui workshop?”, dan “apakah mereka mempunyai seorang pemimpin?”. Jika jawabannya “Tidak” berarti tidak ada CoP. Jika jawabanya “Ya” akan dilanjutkan dengan suatu pertanyaan “Apakah memungkinkan membentuk suatu identitas dan ikatan dalam group tersebut? Jika “Ya” berarti ada CoP. Jika “Tidak” berarti tidak ada CoP.


Gambar 3. Analisa untuk mendeteksi CoP di dalam organisasi




Kebutuhan CoP dalam organisasi
Analisis kebutuhan CoPs dalam organisasi berdasarkan motivasi berikut diilustrasikan dalam Gambar 4. Ketika organisasi tidak memiliki CoPs tetapi memiliki kasus yang harus diselesaikan, hal ini memungkinkan mengukur kemungkinan mengimplementasi CoPs untuk mengatasi beberapa permasalahan organisasi atau untuk mencapai tujuan khusus, biasanya berhubungan dengan knowledge management, korporasi perpindahan knowledge, inovasi atau pembelajaran organisasi. Pengolahan CoP merupakan sebuah proses besar dan dapat membawa perubahan organisasi yang harus dievaluasi dalam menghitung anggarannya. Oleh karena itu, setiap organisasi harus mengevaluasi jika CoP merupakan jawaban untuk menyelesaikan tujuannya dan jika pengolahan CoP ini tidak akan membawa beban biaya yang lebih besar dibandingkan keuntungan.



Gambar 4. Kebutuhan CoP di dalam organisasi




Apakah CoP yang dibutuhkan oleh suatu perusahaan, hal ini tergantung pada perusahaan itu sendiri, perusahaan harus mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan tujuan organisasi, keuntungan dan kerugian organisasi dalam membangun CoPs. Tidak perlu bagi perusahaan untuk mengolah CoPs jika CoPs bukanlah alat yang memadai untuk penyelesaian masalah organisasi. oleh karena itu, tergantung pada kasusnya, kadang kala dapat lebih baik untuk membuat beberapa kelompok peminatan atau jaringan tematik daripada mengolah CoPs.
Pada gambar 5 terlihat suatu evaluasi dalam menerapkan. Pada skema dalam gambar akan ini mendeteksi apakah proses pengolahan CoPs terjawab oleh tujuan yang dikejar. Fase-fase ini bisa menjadi jalan untuk membantu para manajer organisasi untuk memikirkan baik-baik tentang penerapan CoPs di organisasi mereka, berdasarkan proses pengolahan CoPs yang benar dan dengan tujuan mendapatkan hasil terbaik.


Gambar 5. Evaluasi Kebutuhan CoP




Kesimpulan
Community of Practice (CoP) diperlukan oleh suatu perusahaan dalam membangun knowledge sharing yang berdampak peningkatan kinerja organisasi dan tumbuhnya inovasi-inovasi baru. Namun dalam membangun CoP adalah sebuah proses besar dan dapat membawa perubahan organisasi yang harus dianalisis secara seksama jangan sampai membangun CoP ini membawa beban biaya yang lebih besar dibandingkan keuntungannya.

Referensi
Andrew, S., & Robin, T., (2008), “Improved organizational performance through communities of practice”, Journal of Knowledge Management, Vol. 12 No. 1, pp. 106-118,
Ardichvili, A. et All (2006), “Cultural Influences on Knowledge Sharing Through Online Communities of Practice”, Journal of Knowledge Management, Vol.10 No.1
Evans, C., (2003). Managing for Knowledge HR’s Strategic Role, Burlington, Butterworth-Heinemann.
Loyarte, E., & Rivera, O., (2007).Communities of practice: a model for their Cultivation, Journal of Knowledge Management, Vol. 11 No. 3, pp. 67-77.
Jens, G.,&Thomas, R,(2008).Virtual Communities of Practice: A Mechanism for Efficient Knowledge retrieval in Multinational Corporations (MNCs), International Journal of Knowledge Management, 4(2), 46- 1, IGI Publishing.
McDermott, R. (1999), Nurturing three dimensional communities of practice: how to get the most out of human networks, Knowledge Management Review, Vol. 11, pp. 26-9.
Nonaka, I., & Takeuchi, H., (1995). The Knowledge-Creating Company. New York : Oxford University Press.
Samo Pavlin (2006), Community of practice in a small research Institute, Journal of Knowledge Management, Vol. 10 NO. 4 2006, pp. 136-144.
Wei Li, et All. (2007).Impact of chinese culture values on Knowledge Sharing Through online communities of Practice, International Journal of Knowledge Management, 3(3), 46-59, IGI Publishing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar